Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2015

Ayah

Sudah lama, aku menunggu moment ini moment dimana aku bisa bercerita lewat sebait puisi sederhana tentang seseorang yang hidupnya penuh kesederhanaan. Seseorang yang senantiasa berpeluh tapi tak pernah mengeluh. Seseorang yang senyumnya menguatkan jiwa dan raga. Seseorang yang cintanya dingin tapi penuh pembuktian. Seeorang yang selalu khawatir jangan-jangan aku kenapa-kenapa. Seseorang yang selalu berbohong katanya sehat-sehat saja tapi ternyata diam-diam menyembunyikan nyeri yang dirasakan. Seorang pria sejati yang penuh ketulusan dalam menyayangi, yakninya Bapak. Yah Bapak, begitulah biasa aku memanggilnya. Bapakku tidak jauh bebeda dengan bapak-bapak yang lainnya, sangat serius dan kaku Dia tidak pernah bisa menunjukkan rasa cintanya anak-anaknya Bicara seperlunya ketika aku membuat kesalahan, dia memarahiku, tapi dia akan cepat membaik Yah Aku tahu bapakku mencintaiku Hampir seluruh hidupnya ia habiskan demi menafkahi keluarga Meskipun, terik matahari m

Sarjana Kecil

Sujud syukurku hanya untuk Rabbku, segala bentuk pujian hanya milik-Nya Yang Maha mengetahui. 4 tahun ternyata sudah berlalu, saya masih bertanya-tanya, apakah benar sudah berlalu? Kok terasa singkat banget yah. memang benar, semuanya sudah berlalu,

Sedekah Rp. 200 rb dibalas Rp. 2 juta, serius.

Saat kita diperhadapkan dengan kesusahan ataupun kesempitan, apa yang kita pikirkan? stop jangan dijawab dulu. :) Beberapa minggu lalu saya dapat kejutan dari seseorang kakak. Kakak yang senantiasa menghibur dan memotivasi saya ketika berada di Yayasan Karantina Tahfizh Nasional program Sebulan Hafal Al-Qur’an, singkat cerita: saya dapat sms dari beliau, “Dek, antum gimana kabarnya? kirim no. rekeningnya ya dek, jangan lupa :)” saya dengan santai, balas smsnya: “Alhamdulillah Kakak, ana bikhoir, kakak gimana kabarnya?” “maaf Kak, no. rekening untuk apa?” sambil heran ajha Tiing, sms masuk: “insya Allah ana mau ngirim hadiah buat adik ana, semoga ana selalu dido’ain yang terbaik, segera kirim ya dek, ana tunggu.” Nggak langsung balas sms kakak, masih terheran-heran, Ya Allah ana malu: “Maaf kak dalam rangka apa? tapi Rekening ana bermasalah, pake no. teman gak papa?” Tinngg: “Ok. gak papa yang penting teman antum amanah, dikirim ya dek.” Dan esok harinya, Tel

Alhamdulillah, Nur Azizah Natsir, S.Kom.I

Gambar
-Keluarga Tercinta- Alhamdulillah 'ala kulli hal, hadza fadlunminrabbiy.  Jazakumullahu khairan katsira keluarga tercinta,  keluarga besar H. Hasan Panggeleng Dg. Mile & Hj. Hasnah Dg. Ti'no   serta Keluarga besar Dg. Saloko & Dg. Tija.  Saya sangat bersyukur ditakdirkan tumbuh besar di tengah-tengah 2 keluarga sederhana ini, keluarga yang senantiasa menjadi penguat, keluarga yang dipenuhi ketulusan untuk senantiasa berbagi  dan menolong sesama, yah keluarga sederhana yang senantiasa menginspirasiku untuk senantiasa berbuat baik dimanapun, kapanpun, kepada siapapun. Teruntuk kedua orang tuaku, malaikat tak bersayap yang diciptakan Allah untuk senantiasa membimbingku, sampai hari ini dan selamanya saya menyadari bahwa SAMPAI KAPANPUN, KEBAIKAN SEORANG ANAK KEPADA ORANG TUANYA TIDAK AKAN PERNAH SEBANDING DENGAN KEBAIKAN ORANG TUA KEPADA ANAKNYA. Maaf Pa, Maaf Ma... anakmu belum bisa memberikan yang terbaik. Semoga pa

Jangan Menyerah!

Keluarga dan tetangga ramai berdatangan. Satu persatu menjabat tangan ibuku lalu mencium adik mungilku yang baru lahir beberapa minggu lalu. Beberapa langsung menyantap hidangan yang sudah disediakan. “Nak, bisa minta tolong gak?” “Iya tante, ada apa?” “Tante kan lagi ngidam nih, maau banget makan buah itu.” Sambil nunjuk pohon talas depan rumah. “Oke tante, tapi digaji berapa? Haha.” Aku berlalu. Mengambil parang. “Walah…hari gini masih minta gaji. Haha.” Aku menuju pohon talas terdekat. Yang menurutku paling enak buahnya untuk dimakan. Aku mulai memanjat pohon yang cukup tinggi. Dush…dush..dush. Aku mulai memainkan parangku. “Hati-hati.” “Iya hati-hati, Cil.” Kakak perempuan dan sepupu perempuanku berteriak khawatir. Sudah berapa menit, aku belum berhasil. Aku mulai kelelahan. “Sudahlah jangan dipaksakan. Ayo turun, nanti kamu jatuh lagi.” Sepupuku mulai membujujk. Aku berpikir sejenak. “Coba naik ke batu cadas, lalu tebang perlahan.” Aku mendengar suara

Ayah Tak Pernah Ingkar Janji

Dua hari menjelang wisuda. Di depan gedung Auditorium Al-Jibra sudah nampak para petugas sibuk mendirikan beberapa tenda. Di dalam ruangan pun dipenuhi suara para petugas yang sedang geladi bersih. Sore ini ada damai yang berbeda. Kurasa hembusan angin berkata dengan lembut kepadaku “Selamat”.             Aku masih berdiri di depan Auditorium. Menatap Fakultas Agama Islam yang tidak jauh dari sini. Aku mulai meraba kenangan 3 tahun lalu. Ternyata begitu singkat. Ada sesal, andai saja dulu aku menggunakan waktuku sebaik-baik mungkin. Ah, sudahlah. Tidak ada yang perlu disesali. Masih ada masa depan yang mesti dijejaki.             Aku beranjak memasuki ruang Auditorium. Aku menyaksikan wajah sumringah teman-temanku. Nampak keceriaan yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Berbeda sekali dengan saat masih sibuk bergelut dengan skripsi. Kupikir apa yang kurasakan, mereka juga rasakan.             “Hei Sista … sudah ambil undangan ramah tamah belum?” Lika menyapaku dengan lembut

Undangan VIP

Suatu subuh, seorang ibu berbicara kepada anak perempuannya, masih lengkap dengan mukenanya. Anak perempuan dengan mukena pink lembutnya. Berbaring di pangkuan ibunya. Mereka membicarakan sesuatu.             “Mama bahagia nggak, pas lihat Sasa kemarin naik di panggung sebagai siswa berprestasi?” Tanya anak perempuannya.             “Bahagialah Nak, bahkan bahagia banget.” Jawab ibunya.             “Terima kasih ya Ma, semua itu berkat do’a mama.”             “Iya sayang,  bahkan pas mama dan papa berada di dalam ruangan dan duduk di depan, mama tidak pernah berhenti membayangkan dan terus berdo’a, semoga mama dan papa di akhirat kelak juga mendapat tempat istimewa bukan hari itu saja. Kamu jaga diri ya Nak.”             Mereka berpelukan sangat erat.

Cek Dulu!

Bagaimana rasanya jika ternyata teman dekat sendiri yang memfitnah kita? Menuduh tanpa alasan? Rasanya pasti sakit kan? Kayak nyanyiannya si inisial A itu. Sakitnya tuh di sini, sambil pegang dada.             Beberapa hari yang lalu. Aku bersama teman-teman nemenin seorang penulis yang juga teman organisasi di Jakarta. Ceritanya kita makan siang bareng sebelum mengantar kakak ke Bandara. Sebut saja namanya Kak Tri. Jadi, Kak Tri ke Makassar tujuannya mau hadirin kondangan teman kosannya dulu waktu kuliah di bandung. ***             Pas di meja makan salah satu restoran di Makassar. Aku duduk bertiga dan kak Tri duduk berdua. Sambil menunggu pesanan, seorang teman dudukku menyodorkan bukunya ke Kak Tri sambil menawarkan untuk ditanda tangani.             Dengan ramahnya Kak Tri meraih buku bersampul biru putih tersebut dan siap untuk menandatanganinya. Tapi sayangnya tidak ada pulpen. Teman di sebelahku menatapku dan berbisik.             “Ela, kamu bawa pulpen nggak?”   

Air Cuci Kaki Ibu

Aku menatap lamat-lamat genangan air di jalan depan rumah. Udara masih terasa sangat dingin. Aku mencoba menggosok-gosokkan telapak tanganku agar sedikit terasa hangat. Daun-daun, batu cadas dan tanah masih nampak  basah bekas hujan beberapa jam lalu. Aku menikmati sore dengan menyeruput teh hangat ditemani pisang goreng buatan Ibu. Di teras rumah panggung, masih lengkap dengan pakaian ala santri. Sesekali menghela nafas panjang. Aku mulai membuka halaman demi halaman buku milik penulis muda yang terkenal dengan karya-karyanya yang bikin baper. Benar-benar bikin baper. Aku larut dalam suasana. MASA LALU. Kali ini aku berpikir keras untuk memahami judul dan isi cerita. Ya masa lalu. Aku kembali menatap genangan air di jalan. Kurasa pada genangan aku mulai mengingat kenangan tentang masa lalu. Setiap orang pasti punya masa lalu, begitupun aku. Kalau masa lalunya baik, Alhamdulillah. Tapi kalau masa lalunya buruk? Tenang saja, tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki. Hayalku mula

SAAT DIPERHADAPKAN

Aku membuka kembali buku Lautan Langit yang baru saja kutamatkan beberapa hari yang lalu. Aku mencari letak tulisan yang berjudul “Ujian Kesempatan”. Aku mencarinya di saat aku diperhadapkan dengan berbagai pilihan yang menggiurkan. Di tengah kekalutanku, di saat yang sama kukira aku diuji atas komitmen awalku. Detik-detik menjelang ujian meja, aku berdo’a semoga setelah wisuda aku menjalani pengabdian selama 6 bulan di tempat terbaik dimana aku bisa lebih banyak belajar, bisa menambah pengalaman, dan yang pastinya bisa lebih dekat kepada Allah serta senantiasa dekat dengan Al-Qur’an. Alhasil , Allah menjawab do’aku pada saat selesai ujian munaqasyah. Pas proses tanya jawab dengan dosen penguji yang beliau juga ketua jurusanku selesai.aku merapikan lembaran skripsiku. Tiba-tiba bunda bertanya. “Azizah anak binaan kan?” “Iye bunda.” “kamu mengabdinya di sini saja. Nanti urus …..” “insya allah bunda.” Dengan rasa lega, dan rasa syukur. Semoga ini betul-betul tempat terb