Keluarga
dan tetangga ramai berdatangan. Satu persatu menjabat tangan ibuku lalu mencium
adik mungilku yang baru lahir beberapa minggu lalu. Beberapa langsung menyantap
hidangan yang sudah disediakan.
“Nak,
bisa minta tolong gak?”
“Iya
tante, ada apa?”
“Tante
kan lagi ngidam nih, maau banget makan buah itu.” Sambil nunjuk pohon talas
depan rumah.
“Oke
tante, tapi digaji berapa? Haha.” Aku berlalu. Mengambil parang.
“Walah…hari
gini masih minta gaji. Haha.”
Aku
menuju pohon talas terdekat. Yang menurutku paling enak buahnya untuk dimakan.
Aku mulai memanjat pohon yang cukup tinggi.
Dush…dush..dush.
Aku mulai memainkan parangku.
“Hati-hati.”
“Iya
hati-hati, Cil.”
Kakak
perempuan dan sepupu perempuanku berteriak khawatir.
Sudah
berapa menit, aku belum berhasil. Aku mulai kelelahan.
“Sudahlah
jangan dipaksakan. Ayo turun, nanti kamu jatuh lagi.” Sepupuku mulai membujujk.
Aku
berpikir sejenak.
“Coba
naik ke batu cadas, lalu tebang perlahan.” Aku mendengar suara ayah dari bawah.
Kucoba
saran ayah. Aku perlahan-lahan memindahkan kakiku ke batu cadas yang cukup
tajam.
“Cil,
sudahlah. Jangan dipaksakan, nampaknya bahaya.” Tak henti-hentinya sepupuku
membujuk.
Dush..dush..dush…
perlahan kumainkan parang. Sedikit lagi. Keringatku berkucuran.
“Coba
dari arah sana… atau…” ayahku terus mmberi saran, tanpa pikir aku harus
menyerah.
Bush…
satu tangkai mulai jatuh.
“Alhamdulilah…”
seru kakak dan sepupu perempuanku.
Aku
menatap ayah dari atas. Ayah tersenyum padaku. Kulihat jiwa optimisnya. Kukira
itulah yang baru saja ia ajarkan padaku. JANGAN MENYERAH! Where there is a will there is a way.
Komentar
Posting Komentar