Dua hari menjelang wisuda.
Di depan gedung Auditorium Al-Jibra sudah nampak para petugas sibuk mendirikan
beberapa tenda. Di dalam ruangan pun dipenuhi suara para petugas yang sedang
geladi bersih. Sore ini ada damai yang berbeda. Kurasa hembusan angin berkata dengan
lembut kepadaku “Selamat”.
Aku masih berdiri di depan Auditorium. Menatap Fakultas
Agama Islam yang tidak jauh dari sini. Aku mulai meraba kenangan 3 tahun lalu.
Ternyata begitu singkat. Ada sesal, andai saja dulu aku menggunakan waktuku
sebaik-baik mungkin. Ah, sudahlah. Tidak ada yang perlu disesali. Masih ada
masa depan yang mesti dijejaki.
Aku beranjak memasuki ruang Auditorium. Aku menyaksikan
wajah sumringah teman-temanku. Nampak keceriaan yang berbeda dari tahun-tahun
sebelumnya. Berbeda sekali dengan saat masih sibuk bergelut dengan skripsi. Kupikir
apa yang kurasakan, mereka juga rasakan.
“Hei Sista…
sudah ambil undangan ramah tamah belum?” Lika menyapaku dengan lembut sambil
menjabat tanganku.
“Hehe sudah doong. Badewe ntar malam siapa yang
mendampingimu?”
“Siapa lagi kalau bukan mama tersayang. Kamu gimana?”
Jawabnya penuh keceriaan.
“InsyaAllah ayah.”
“Ciyee.. yang ditemenin ayahnya. Jadi your father PP dari Maros-Makassar? Wah
hebat banget. Salut deh.”
“Iya.. tapi semoga aja beliau benar-benar bisa datang.”
Aku menjawab ragu. Ada yang kupikirkan sejak kemarin.
“InsyaAllah beliau datang kok. Kamu kan…” Lika berlalu
tanpa melanjutkan kalimatnya.
Aku mendengar suara dari depan memanggilku. Aku menuju ke
depan. Ternyata disuruh isi formulir. Segera kuisi tanpa berpikir lama.
Teman-temanku satu persatu pamit. Geladi bersih pun selesai.
“Ingat yah Vah,
ntar malam pukul 20.00 wita teng di Hotel…. Jangan sampai telat.” Kakak
seniorku yang juga staff di fakultas mengingatkan.
“Oke Kak, sippp.”
Aku berlalu. Kulirik jam mungil di lenganku. Pukul 17.50
wita. Kuraih telepon genggam. Mencoba menelpon ayah. Memastikan beliau datang
pukul berapa.
Teeet…teeet…teeet…teeet.
“Maaf nomor yang anda tuju tidak menjawab. The number you calling…….”
Kucoba berulang kali. Tapi sama saja, tidak pernah
diangkat. Ibupun seperti itu. Hatiku mulai jengkel. Berasumsi yang tidak-tidak.
Aku menarik nafas lalu menghembuskan. Kutata kembali perasaanku. Aku mulai
bersangka baik. Aku bergegas mandi lalu sholat maghrib.
Kuulangi kembali. Memastikan ayah datang atau tidak.
Beberapa panggilan tidak terjawab. Hatiku benar-benar kalut. Sedang jam sudah menunjukkan pukul 19.55
wita. Adzan isya berlalu. Ayah belum juga datang.
“Ayah kenapa mesti tidak menjawab telepon, kalau memang
tidak bisa datang?” tanyaku dalam hati. Benar-benar jengkel.
Aku sudah siap. Dengan pakaian hitam putih sesuai aturan.
“Evah, ayo kita berangkat bareng.” Ajak sekosanku yang
sudah siap berangkat bersama ayahnya.
“Iya Na, kamu duluan ajha, aku masih nunggu ayah.”
“Okelah. Aku duluan ya. Jangan telat.”
“Hmm iya iya. Gimana gak telat kalau ayah belum juga
datang.” Jawabku dalam hati.
Aku mondar mandir. Sesekali mengecek HP. Berharap ayah
menelpon. Satu persatu dosenku menelpon, tapi kuabaikan karena bingung harus
jawab apa bila ditanya “sekarang dimana?”. Mau berangkat sendirian, uang sudah
habis. Mana undangan sama ayah lagi.
“Ayah tidak mungkin ingkar janji. Selama ini ayah selalu
menepati janjinya. Apalagi malam spesial seperti ini. Ayah pasti datang.” Aku
meyakinkan diri sambil berdo’a keselamatan ayah.
“Tapi dimana? kenapa belum datang juga?”
Lima menit kemudian. Handphoneku
berdering. Segera kulihat. Ternyata ayah. Bahagia tak terkira. Akhirnya
penantianku terjawab juga.
“Assalamu’alaikum Nak, dimana? sekarang ayah ada di depan
kost.”
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh… iya Yah,
tunggu kubukakan pintu.” Aku menjawab telepon sambil berjalan menuju pintu.
Ayah benar-benar tidak ingkar janji. Ia sekarang di
hadapanku. Segera kuraih tangan kasarnya lalu kucium dengan khidmat. Kuantar ke
kamar untuk sholat Isya dan ganti pakaian.
“Maaf Nak, tadi ayah berangkat sebelum maghrib. Tapi waktu
ayah mau beli roti pesananmu, ayah baru sadar ternyata dompet ayah ketinggalan.
Terpaksa balik lagi ke rumah. Pas menuju ke Makassar ternyata macetnya luar
biasa.” Ayah menjelaskan dengan bijak.
“Maaf Yah, tadi Eva buruk sangka.” Gumamku dalam hati, penuh
sesal.
“Pukul berapa acaranya dimulai?”
“Pukul 20.00 wita, Yah.”
“Beneran? Berarti kita sudah telat dong.” Ayah buru-buru
merapikan kemejanya.
“Haha gak papa kok, Yah. Palingan acara belum dimulai,
kan mereka nungguin kita.” Candaku menghibur ayah.
Kami segera menuju lokasi. Dengan motor buntut ayah.
Motor yang cintanya tak mengenal jarak. Meski beberapa kali harus keluar masuk
bengkel, tapi sampi sekarang masih setia menemani ayah berjuang demi anak istri.
“Haloo, Eva sekarang dimana, sudah menuju ke lokasi kan?”
Dosenku nelpon.
“Maaf Pak, Eva masih di jalan.”
“Oke… hati-hati.”
Ayah berusaha melaju secepat mungkin, meski di tengah
macet yang luar biasa. Akhirnya sampai di lokasi. Para panitia mempersilahkan
kami masuk. Aku dan ayah duduk di tempat yang berbeda meski di ruangan yang
sama. Beberapa menit setelah kami duduk, acara baru di mulai.
“Terima kasih Ayah, untuk tidak pernah ingkar janji.
Selama ini engkau berpeluh tapi tidak pernah mengeluh. Engkau dengan cintamu
yang dingin, tapi penuh dengan tindakan. Engkau yang rela hidup apa adanya demi
anak-anakmu. Malam ini engkau saksikan aku berdiri di depan, menerima
penghargaan sebagai wisudawati terbaik, ini semua berkat kerja kerasmu. Meski
kusadari sampai kapanpun apa yang kuberikan tak akan pernah sebanding dengan
kebaikanmu. Love you Ayah.”
Kuakhiri puisiku. Kudekati ayah. Kugenggam tangannya. Ia
menggenggam erat tanganku. Riuh tepuk tangan menggema ke langit-langit.
Malam
ini, Kurasakan betul kekuatan cinta seorang ayah pada anak perempuannya.
Komentar
Posting Komentar