Tepuk An-Nas oleh Santri TPQ Nur Alim

Tepuk An-Naas (Tepuk Tangan 3X) Nama surah (Tepuk Tangan 3X) An-Naas (Tepuk Tangan 3X) Artinya (Tepuk Tangan 3X) Manusia (Tepuk Tangan 3X) Jumlahnya (Tepuk Tangan 3X) Enam ayat (Tepuk Tangan 3X) Diturunkan (Tepuk Tangan 3X) Di Mekkah (Tepuk Tangan 3X) diperankan oleh (Inayah, Nadila, Nanda dan Aliyah) 😇

Ayah Tak Pernah Ingkar Janji

Dua hari menjelang wisuda. Di depan gedung Auditorium Al-Jibra sudah nampak para petugas sibuk mendirikan beberapa tenda. Di dalam ruangan pun dipenuhi suara para petugas yang sedang geladi bersih. Sore ini ada damai yang berbeda. Kurasa hembusan angin berkata dengan lembut kepadaku “Selamat”.
            Aku masih berdiri di depan Auditorium. Menatap Fakultas Agama Islam yang tidak jauh dari sini. Aku mulai meraba kenangan 3 tahun lalu. Ternyata begitu singkat. Ada sesal, andai saja dulu aku menggunakan waktuku sebaik-baik mungkin. Ah, sudahlah. Tidak ada yang perlu disesali. Masih ada masa depan yang mesti dijejaki.
            Aku beranjak memasuki ruang Auditorium. Aku menyaksikan wajah sumringah teman-temanku. Nampak keceriaan yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Berbeda sekali dengan saat masih sibuk bergelut dengan skripsi. Kupikir apa yang kurasakan, mereka juga rasakan.
            “Hei Sista… sudah ambil undangan ramah tamah belum?” Lika menyapaku dengan lembut sambil menjabat tanganku.
            “Hehe sudah doong. Badewe ntar malam siapa yang mendampingimu?”
            “Siapa lagi kalau bukan mama tersayang. Kamu gimana?” Jawabnya penuh keceriaan.
            “InsyaAllah ayah.”
            “Ciyee.. yang ditemenin ayahnya. Jadi your father PP dari Maros-Makassar? Wah hebat banget. Salut deh.”
            “Iya.. tapi semoga aja beliau benar-benar bisa datang.” Aku menjawab ragu. Ada yang kupikirkan sejak kemarin.
            “InsyaAllah beliau datang kok. Kamu kan…” Lika berlalu tanpa melanjutkan kalimatnya.
            Aku mendengar suara dari depan memanggilku. Aku menuju ke depan. Ternyata disuruh isi formulir. Segera kuisi tanpa berpikir lama. Teman-temanku satu persatu pamit. Geladi bersih pun selesai.
             “Ingat yah Vah, ntar malam pukul 20.00 wita teng di Hotel…. Jangan sampai telat.” Kakak seniorku yang juga staff di fakultas mengingatkan.
            “Oke Kak, sippp.”
            Aku berlalu. Kulirik jam mungil di lenganku. Pukul 17.50 wita. Kuraih telepon genggam. Mencoba menelpon ayah. Memastikan beliau datang pukul berapa.
            Teeet…teeet…teeet…teeet.
            “Maaf nomor yang anda tuju tidak menjawab. The number you calling…….
            Kucoba berulang kali. Tapi sama saja, tidak pernah diangkat. Ibupun seperti itu. Hatiku mulai jengkel. Berasumsi yang tidak-tidak. Aku menarik nafas lalu menghembuskan. Kutata kembali perasaanku. Aku mulai bersangka baik. Aku bergegas mandi lalu sholat maghrib.
            Kuulangi kembali. Memastikan ayah datang atau tidak. Beberapa panggilan tidak terjawab. Hatiku benar-benar kalut.  Sedang jam sudah menunjukkan pukul 19.55 wita. Adzan isya berlalu. Ayah belum juga datang.
            “Ayah kenapa mesti tidak menjawab telepon, kalau memang tidak bisa datang?” tanyaku dalam hati. Benar-benar jengkel.
            Aku sudah siap. Dengan pakaian hitam putih sesuai aturan.
            “Evah, ayo kita berangkat bareng.” Ajak sekosanku yang sudah siap berangkat bersama ayahnya.
            “Iya Na, kamu duluan ajha, aku masih nunggu ayah.”
            “Okelah. Aku duluan ya. Jangan telat.”
            “Hmm iya iya. Gimana gak telat kalau ayah belum juga datang.” Jawabku dalam hati.
            Aku mondar mandir. Sesekali mengecek HP. Berharap ayah menelpon. Satu persatu dosenku menelpon, tapi kuabaikan karena bingung harus jawab apa bila ditanya “sekarang dimana?”. Mau berangkat sendirian, uang sudah habis. Mana undangan sama ayah lagi.
            “Ayah tidak mungkin ingkar janji. Selama ini ayah selalu menepati janjinya. Apalagi malam spesial seperti ini. Ayah pasti datang.” Aku meyakinkan diri sambil berdo’a keselamatan ayah.
            “Tapi dimana? kenapa belum datang juga?”
            Lima menit kemudian. Handphoneku berdering. Segera kulihat. Ternyata ayah. Bahagia tak terkira. Akhirnya penantianku terjawab juga.
            “Assalamu’alaikum Nak, dimana? sekarang ayah ada di depan kost.”
            “Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh… iya Yah, tunggu kubukakan pintu.” Aku menjawab telepon sambil berjalan menuju pintu.
            Ayah benar-benar tidak ingkar janji. Ia sekarang di hadapanku. Segera kuraih tangan kasarnya lalu kucium dengan khidmat. Kuantar ke kamar untuk sholat Isya dan ganti pakaian.
            “Maaf Nak, tadi ayah berangkat sebelum maghrib. Tapi waktu ayah mau beli roti pesananmu, ayah baru sadar ternyata dompet ayah ketinggalan. Terpaksa balik lagi ke rumah. Pas menuju ke Makassar ternyata macetnya luar biasa.” Ayah menjelaskan dengan bijak.
            “Maaf Yah, tadi Eva buruk sangka.” Gumamku dalam hati, penuh sesal.
            “Pukul berapa acaranya dimulai?”
            “Pukul 20.00 wita, Yah.”
            “Beneran? Berarti kita sudah telat dong.” Ayah buru-buru merapikan kemejanya.
            “Haha gak papa kok, Yah. Palingan acara belum dimulai, kan mereka nungguin kita.” Candaku menghibur ayah.
            Kami segera menuju lokasi. Dengan motor buntut ayah. Motor yang cintanya tak mengenal jarak. Meski beberapa kali harus keluar masuk bengkel, tapi sampi sekarang masih setia menemani ayah berjuang demi anak istri.
            “Haloo, Eva sekarang dimana, sudah menuju ke lokasi kan?” Dosenku nelpon.
            “Maaf Pak, Eva masih di jalan.”
            “Oke… hati-hati.”
            Ayah berusaha melaju secepat mungkin, meski di tengah macet yang luar biasa. Akhirnya sampai di lokasi. Para panitia mempersilahkan kami masuk. Aku dan ayah duduk di tempat yang berbeda meski di ruangan yang sama. Beberapa menit setelah kami duduk, acara baru di mulai.
            “Terima kasih Ayah, untuk tidak pernah ingkar janji. Selama ini engkau berpeluh tapi tidak pernah mengeluh. Engkau dengan cintamu yang dingin, tapi penuh dengan tindakan. Engkau yang rela hidup apa adanya demi anak-anakmu. Malam ini engkau saksikan aku berdiri di depan, menerima penghargaan sebagai wisudawati terbaik, ini semua berkat kerja kerasmu. Meski kusadari sampai kapanpun apa yang kuberikan tak akan pernah sebanding dengan kebaikanmu. Love you Ayah.”
            Kuakhiri puisiku. Kudekati ayah. Kugenggam tangannya. Ia menggenggam erat tanganku. Riuh tepuk tangan menggema ke langit-langit.

Malam ini, Kurasakan betul kekuatan cinta seorang ayah pada anak perempuannya.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tepuk An-Nas oleh Santri TPQ Nur Alim

Cara Ampuh Bersihkan Hati dengan Air Rendaman Kismis

Istirahat Sejenak