Aku
menatap lamat-lamat genangan air di jalan depan rumah. Udara masih terasa sangat
dingin. Aku mencoba menggosok-gosokkan telapak tanganku agar sedikit terasa
hangat. Daun-daun, batu cadas dan tanah masih nampak basah bekas hujan beberapa jam lalu. Aku
menikmati sore dengan menyeruput teh hangat ditemani pisang goreng buatan Ibu.
Di teras rumah panggung, masih lengkap dengan pakaian ala santri. Sesekali
menghela nafas panjang. Aku mulai membuka halaman demi halaman buku milik penulis
muda yang terkenal dengan karya-karyanya yang bikin baper. Benar-benar bikin
baper. Aku larut dalam suasana.
MASA
LALU. Kali ini aku berpikir keras untuk memahami judul dan isi cerita. Ya masa
lalu. Aku kembali menatap genangan air di jalan. Kurasa pada genangan aku mulai
mengingat kenangan tentang masa lalu.
Setiap
orang pasti punya masa lalu, begitupun aku. Kalau masa lalunya baik,
Alhamdulillah. Tapi kalau masa lalunya buruk? Tenang saja, tidak ada kata
terlambat untuk memperbaiki. Hayalku mulai serius, terbayang masa-masa duduk di
bangku SMP, tapi lebih tepatnya masa-masa Tsanawiyah karena sejak tamat SD aku sudah
disekolahkan di pesantren.
***
Hampir
tiga tahun aku hidup di penjara suci, tempat dimana aku ditempah sedemikian
rupa agar bisa hafal Al-Qur’an. Tapi sayang, nasibku tidak seberuntung
teman-temanku. Di saat teman-temanku sudah mencapai berjuz-juz, bahkan sudah
ada yang khatam 30 juz. Aku malah tertinggal jauh di belakang mereka.
Sampai-sampai aku pernah ditampar oleh kakak pembinaku karena ia kesal menyimak
hafalanku yang tidak lancar-lancar.
Tamparan
yang mendarat di pipi tirusku saat itu, mungkin bukti kasih sayang kakak
pembinaku. Tapi bagiku tidak demikian. Justru aku semakin kesal dan semakin
membuat ulah. Hukuman bagiku tak mampan lagi. Kepalaku di botak bukan lagi
masalah. Di hukum membersihkan toilet dan got, bagiku biasa saja.
Beberapa
kali manjat pagar, pulang ke rumah tanpa izin. Itulah aku. Sampai-sampai Ibuku
seringkali meneteskan air mata karena ulahku. Ayahku sudah bingung nasehat
apalagi yag mesti ia berikan.
Seusai
ujian nasional. Aku bersikeras pindah sekolah. Dengan berbagai pertimbangan,
akhirnya ayah dan ibu menyutujui permintaanku.
Selang beberapa hari aku pun ditemani ayah menghadap ke pimpinan pondok.
“Maaf
Ustadz, Ami katanya mau pindah sekolah saja. Bagaimana menurut ustadz?” ayahku
dengan tenang memulai pembicaraan.
Dengan
wajahnya yang teduh. Penampilannya yang sederhana. Menyunggingkan senyum,
menatap kami bergantian.
“Hhhhmm….
Begitu ya Pak? Memangnya kenapa nak Ami mau pindah? Sudah yakin dengan
keputusannya?”
Aku
hanya bisa tersenyum malu. Perlahan memikirkan alasan yang tepat.
“Aaa…nuu
Ustadz, mungkin sebaiknya memang demikian, Ami sudah terlalu lama merepotkan
orang-orang di pondok, semoga kalau di luar Ami bisa berubah. InsyaAllah saya
sudah pikir matang-matang Ustadz.”
Sesaat
suasana terasa sunyi.
“Baiklah
kalau begitu, ustadz juga tidak bisa memaksamu untuk tetap tinggal di sini
kalau memang kamu sudah memutuskan untuk pindah. Tapi kalau boleh beri saran,
kalau mau lanjut sekolah lebih baik masuk sekolah umum saja, atau kalau mau
masuk pondok lagi, mending pondok yang tidak mewajibkan adanya hafalan, karena
menurut ustadz sih kamu memang tidak berpotensi menghafal Al-Qur’an.”
“Oooh
iya Ustadz, terima kasih banyak atas sarannya.” Ayahku menjawab dengan tenang,
tapi nampak senyum kecut di wajahnya.
Rasanya
dadaku nyesek. Tenggorokanku kering. Mataku perlahan basah. Aku berusaha
menyembunyikan. Aku juga ikut tersenyum.
“InsyaAllah
Ustadz, mohon do’anya. Semoga Ami bisa berhasil.”
Percakapan
pun berakhir. Adzan isya berkumandang. Aku dan Ayah pamit pulang.
Di
perjalanan ayah tidak berkata apa-apa. Aku tahu bahwa ayah memirkan sesuatu. Sepanjang
perjalanan aku memikirkan kata-kata ustadz bahwa aku memang tidak bisa
menghafal Al-Qur’an. Dadaku sakit, sakit sekali. Setegah itukah, mesti berkata
aku tidak bisa hafal Al-Qur’an.
Ada
untungnya ustadzku bilang begitu. Sejak saat itu aku bertekad bahwa aku harus
membuktikan aku pasti bisa jadi seorang hafizh, suatu hari insyaAllah.
Ayah
dan ibu sibuk mencarikanku sekolah yang tepat dan yang terpenting bukan SMA,
karena ibuku tahu betul pergaulan remaja saat ini. Ibu khawatir kalau-kalau aku
ikut-ikutan dengan hal-hal negative.
Aku
mencoba menghubungi temanku. Ia menyarankan untuk mondok di salah satu
pesantren yang terkenal dengan kedisiplinannya, kesederhanaannya dan kualitas
alumninya.
Akupun
antusias. Dengan optimis aku mendiskusikannya dengan ayah dan ibu. Ayah sih
nampak fine-fine saja. Beda dengan
ibu.
“Apa?
Sanggup kamu? Di pondok yang dulu saja kamu melanggarnya minta ampun.” Ibu
menguji kesanggupanku.
“InsyaAllah
bu, yang penting ibu merestuiku.” Aku mencoba meyakinkannya.
Akupun
bergegas menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk pendaftaran. Meski
harus menempuh jarak yang cukup jauh, ayah tidak pernah menolak untuk
menemaniku demi mengurus semuanya.
Selang
beberapa minggu, aku dinyatakan lulus. Ayah dan ibu sangat bersemangat. Tak
menunggu lama akupun menyiapkan hal-hal yang dibutuhkan untuk tinggal di
pondok. Semuanya sudah lengkap. Aku siap berangkat esok harinya.
Sepertiga
malam sebelum berangkat. Aku sengaja bangun. Aku melihat ibu sedang khusuk
berdo’a. Aku tidak tega mengganggunya. Tapi, ini mesti kulakukan. Aku bertekad
melaksanakan amanah seorang ustadz yang kutemui beberapa minggu lalu.
“Nak,
kalau kamu mau jalan suksesmu mulus, rezekimu lancar dan segala persoalan hidupmu
dimudahkan jangan sekali-kali sakiti hati orang tuamu, terutama ibumu.” Kata ustadz
dengan bijak.
“Tapi
ustadz, selama ini saya sudah terlanjur menyakiti hati ibu, bahkan banyak hal
yang saya lakukan sering membuat ibu menangis.” Aku menjelaskan dengan perasaan
penuh penyesalan.
Ustadz
Salim mengusap kepalaku.
“Jangan
khawatir, selama kamu mau berubah, insyaAllah Allah akan bukakan jalanmu.”
“Jadi
bagaiman Ustadz?” tanyaku penasaran.
“Bangunlah
di sepertiga malam, lalu siapkan air hangat, minta ibumu untuk duduk dan rendam
kakinya dengan air hangat itu, kemudian cuci perlahan dan meminta maaflah
dengan sungguh-sungguh kepada ibumu, lalu cucilah badanmu dengan air bekas cuci
kaki ibumu. Jangan lupa sholat 2 rakaat.”
Malam
itu penuh dengan haru. Aku sesenggukan, tak bisa membendung air mata. Aku
memohon maaf setulus-tulusnya dari manusia keramat yang selama ini aku sakiti
hatinya. Ibuku dengan kelembutan hatinya memaafkan segala khilafku seolah tak
pernah terjadi apa-apa. Ibu bilang kalau ia mengikhlaskan segalanya. Ia ikhlas
melepasku untuk menuntut ilmu. Aslakan aku bisa meraih cita-citaku dan kelak
bermanfaat untuk umat.
Aku
pun menjalani suka duka di pondok. Meski harus beradaptasi dengan suasana baru
tapi aku menjalaninya dengan hati yang lapang. Banyak hal yang aku dapatkan di
sini. Aku mulai berubah. Dulu aku malas belajar, bahkan baca bukupun tidak. Dan
yang paling aku syukuri jelang 2 tahun, Alhamdulillah hafalanku sudah khatam.
Benar
kata ustadz Salim, ridho Allah itu
terletak pada ridho orang tua. Allahu Akbar. Tidak ada yang mustahil, selama
kita masih percaya dan mau memperjuangkan mimpi kita. Jangan pernah merasa
minder, karena setiap orang punya kesempatan yang berbeda. Jalan suksesnya pun
beda.
***
Hayalku
buyar. Aku tidak sadar tersenyum-senyum sendiri. Aku melihat ibu tiba-tiba ada
di hadapanku dengan cermin di tangannya. Aku melihat wajahku di cermin. Aku
memandang ibu yang tersenyum sedikit mengejek.
“Kamu
kenapa senyum-senyum sendiri hampir satu jam? Untung tidak ada petir nyambar
kamu. Hehehe.”
“Aduh
Ibu…” tak bisa melanjutkan kata-kata. Tersipu malu. Aku menutup wajah dengan
buku di tanganku. Lalu mengangkat peci dari kepalaku.
“Terima
kasih Bu. Ibu masih saja selalu sama, selalu menghangatkan.” Gumamku dalam
hati. Menatapnya dalam.
Komentar
Posting Komentar