Aku
membuka kembali buku Lautan Langit yang baru saja kutamatkan beberapa hari yang
lalu. Aku mencari letak tulisan yang berjudul “Ujian Kesempatan”. Aku
mencarinya di saat aku diperhadapkan dengan berbagai pilihan yang menggiurkan.
Di tengah kekalutanku, di saat yang sama kukira aku diuji atas komitmen awalku.
Detik-detik
menjelang ujian meja, aku berdo’a semoga setelah wisuda aku menjalani
pengabdian selama 6 bulan di tempat terbaik dimana aku bisa lebih banyak
belajar, bisa menambah pengalaman, dan yang pastinya bisa lebih dekat kepada
Allah serta senantiasa dekat dengan Al-Qur’an.
Alhasil,
Allah menjawab do’aku pada saat selesai ujian munaqasyah.
Pas
proses tanya jawab dengan dosen penguji yang beliau juga ketua jurusanku
selesai.aku merapikan lembaran skripsiku. Tiba-tiba bunda bertanya.
“Azizah
anak binaan kan?”
“Iye
bunda.”
“kamu
mengabdinya di sini saja. Nanti urus …..”
“insya
allah bunda.”
Dengan
rasa lega, dan rasa syukur. Semoga ini betul-betul tempat terbaik untukku dan
sekaligus sebagai tanda terima kasih kepada guru-guruku dan kampus yang selama
ini membinaku dan mengapresiasi berbagai kebutuhanku.
Beberapa
hari yang lalu, aku benar-benar dalam kebimbangan yang sangat besar. Aku
tiba-tiba dapat informasi beasiswa LIPIA program Diploma. Siapa yang tidak mau?
Mengingat LIPIA pernah menjadi kampus impian beberapa tahun yang lalu. Hanya
saja karena berbagai pertimbangan dan kekhawatiran orang tua, akhirnya aku
harus meredam keinginanku. Doesn’t matter.
Restu orang tua jauh lebih berharga.
Hampir dua hari aku gregetan, ingin segera mengurus
hal-haal yang dibutuhkan untuk pendaftaran. Tapi, setelah meminta solusi kepada
ketua jurusan, hasratku yang tadi menggebuh-gebuh, akhirnya sedikit urung.
Namun, aku masih berdebar-debar ingin banget. Namun, dalam shalatku tiba-tiba
Allah ingatkan aku pada sebuah judul tulisan ujian kesempatan. Ya Allah mungkin
ini ujian atas komitmenku. Terima kasih ya Allah. Aku mesti mengabdi dulu.
Setelah aku mengikhlaskan LIPIA. Allah mengujiku lagi
dengan kesempatan yang jauh lebih membimbangkan. Yakni PERNIKAHAN.
Pagi-pagi buta, telponku bordering. Masih dalam kondisi
setengah sadar aku menjawab telepon. Terdengar suara seorang perempuan.
“Assalamu’alaikum Dek.”
“Wa’alaikumussalam, maaf siapa?”
Dengan sedikit bercanda “Masa sudah lupa?”
“Maaf siapa?”
“Kak…”
“oh iye kak, kenapaki?”
“Dek, sudah ada calon belum?”
Walah pagi-pagi gini nanyakan calon.
Pura-pura bego’ “Calon apa kak?”
“Apalgi toh, kemarin itu ada adek kelas kakak, mnta
dicariin calon istri, nah setelah kakak piker-pikir kayaknya cocok sama kamu.
Gimana kalau ta’arufan dulu, kalau memang cocok yah dilanjutkan tapi kalau
tidak ya sudah. Silahkan sholat istikharah dulu.”
“hmm….”
Dengan berbagai pertanyaan. Percakapan selesai. Aku
kembali deg-degan, kalau masalah seperti ini bukan hal mudah bagiku. Aku sholat
dua rakaat. Tiba-tiba aku diingatkan lagi dengan dua kata “Ujian Kesempatan”.
Ya Allah, aku tidak mengetahui apapun. Hanya Engkau yang
Maha mengetahui. Tunjukkan hamba jalan terbaik, dimana aku bisa semakin dekat
kepada-Mu. Hanya itu.
Aku sangat setuju dengan kalimat yang tersirat di bukunya
MASGUN.
“Tidak semua kesempatan yang datang itu harus diambil.
Hati-hatilah mengenali kesempatan karena bisa jadi itu adalah ujian.”
“Semoga Allah masih yang pertama.”
Komentar
Posting Komentar